Keterpurukan ekonomi dunia barat setelah krisis global membuat dunia sadar bahwa kekuatan ekonomi yang bertahta saat ini mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan dan bahkan mungkin harus mangkat. Beberapa lembaga internasional mulai menyebutkan beberapa negara berkembang yang diasumsikan sebagai the new emerging country. Goldman Sachs pernah mempopulerkan Brazil, Rusia, India dan China sebagai empat negara calon kekuatan ekonomi baru dunia pada tahun 2001. BRIC, begitu mereka sering disebut, memiliki total produk bruto (PDB) diperkirakan melampaui PDB tujuh negara industri maju (G-7) pada 2027 atau mencapai US$30,2 triliun. Di luar BRIC, ada sebelas negara lain (N-11) yang diperkirakan juga akan berperan penting membentuk peta ekonomi baru pada pertengahan abad, yakni Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Korsel, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Mirza Adityaswara, mengatakan ada sejumlah alasan mengapa Indonesia layak disejajarkan dengan negara BRIC. Pertama, wilayah Indonesia tergolong luas hingga lebih dari 3 juta km2. Kedua, potensi pasar RI besar dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa. Ketiga, memiliki kekayaan sumber daya alam, bahkan produsen nomor satu minyak sawit mentah, nomor dua timah dan eksportir besar batu bara. Keempat, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen per tahun. Bahkan, RI menjadi satu dari tiga negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi positif pada 2008 bersama Cina dan India. Kelima, PDB per kapita Indonesia pada 2009 sekitar US$3.900 atau lebih baik dari India yang hanya US$2.900. Keenam, fiskal Indonesia tergolong sehat dengan defisit hanya 1,6 persen, lebih kecil dari defisit anggaran Rusia sebesar 6 persen, Brasil 3,3 persen, India 10 persen dan China 2,2 persen.
Melihat asumsi yang berkembang tersebut, ada optimisme meruah, Indonesia pasti bisa. Namun, berkaca pada kenyataan, sikap pesimis masih menjadi suara prioritas. Melihat permasalahan klasik bangsa Indonesia yang sudah mengakar dan membudaya di hampir semua sektor. Melihat permasalahan kapitalisasi yang marak beroperasi di hampir seluruh badan usaha. Melihat mirisnya kesenjangan distribusi pendapatan antar wilayah atau bahkan antar personal. Apakah hal tersebut mungkin?
Berbicara mengenai sistem ekonomi Indonesia, sudah sedari awal sekolah kita diajar bahwa Indonesia tidak menganut sistem ekonomi liberalisme maupun etatisme. Sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila yang berasas kerakyatan. Namun, dalam praktek, kapitalisme atau mungkin bisa disebut dengan neo liberalisme lah yang banyak bermain. Nah, berkaca pada hal tersebut serta mengintip sejarah sistem perekonomian kita sejak merdeka hingga sekarang, patut jika kita bertanya-tanya, mau dibawa kemana perekonomian Indonesia ini? Melihat penerapan ekonomi Pancasila kita yang masih amburadul, sudah seharusnya kita mengevaluasi diri, sebenarnya kita menganut sistem ekonomi yang mana? Bagaimana dengan sistem ekonomi Pancasila? Akankah hal tersebut hanya sebuah konsep yang masih diawang-awang? Lalu, mau dibawa kemana Indonesia, jika asas dasarnya saja tidak dipakai dengan baik?
Ekonomi Pancasila didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila, merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Sistem ekonomi ini memiliki lima ciri utama, yaitu roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral, kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan, prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi, koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama. Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran. Namun dalam sistem ekonomi tersebut mengandung ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis (Mubyarto, 1980). Peranan unsur agama sangat kuat dalam konsep Ekonomi Pancasila. Karena unsur moral menjadi salah satu pembimbing utama pemikiran dan kegiatan ekonomi. Jika dalam ekonomi Smith unsur moralitasnya adalah kebebasan (liberalisme) dan ekonomi Marx adalah diktator mayoritas (oleh kaum proletar) maka moralitas Ekonomi Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Kekayaan alam yang melimpah merupakan salah satu anugrah dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia ini. Membayangkan Indonesia sebagai penghasil biji-bijian terbesar no 6 di dunia, penghasil teh terbesar no 6, penghasil kopi no 4, penghasil cokelat no 3, penghasil minyak sawit (CPO) no 2, penghasil penghasil karet alam no 2, karet sintetik no 4, penghasil ikan no 6, penghasil timah no 2, penghasil batu bara no 9, penghasil minyak bumi no 11, penghasil Natural Gas no 6, LNG no 1, penghasil emas no 8 (http://km.itb.ac.id) dan masih banyak lainnya,membuat negara kita tampak makmur. Namun, kemakmuran tersebut berpihak kemana? Semisal PT.Freeport, Sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$ (www.walhi.or.id. 06/04/04).
Dalam sebuah artikel khusus harian Republika dilaporkan bahwa omset tahun 1993 dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya, diantaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 trilyun rupiah atau 83 % APBN Indonesia tahun itu. Ini menandakan, bahwa lebih dari 80 % perputaran uang di Indonesia, hanya berkutat pada segelintir orang saja. Distribusi pendapatan merata masih jauh diatas awang-awang.
Let’s think. Tanpa angka statistik pun kita masih dapat berucap bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan masih mendominasi. Sedangkan para pejabat dan orang kaya di Indonesia masih tergiur akan korupsi. Kehidupan hedonisme menjamur di kalangan sosial menengah atas. Privatisasi BUMN merajalela tanpa keberpihakan terhadap masyarakat kebanyakan. Apakah hal itu yang disebut dengan penerapan ekonomi Pancasila?
Melihat dari konsep ekonomi Pancasila yang sejak awal digariskan oleh Profesor Mubyarto, unsur moral dan sosial merupakan unsur yang banyak bermain di dalamnya. Dengan memperhatikan nilai-nilai tersebut, budaya korupsi tak akan mengakar, dan orang kaya pun tetap akan melirik rakyat miskin. Berkaca pada kondisi masyarakat Indonesia sekarang, patut kita bertanya pada diri kita sendiri, sebagai mahasiswa ekonomi, tahu apa kita tentang sistem ekonomi Pancasila? Pun kepada para pejabat kita, tahukah mereka?
Sistem ekonomi yang katanya kita anut ternyata tidak kita terapkan dengan semestinya. Bahkan masih jauh dari konsep awalnya. Lalu, sebenarnya kita menganut sistem yang mana? Konsep bagus dari Profesor Mubyarto tidaklah seharusnya kita abaikan begitu saja menjadi sebuah catatan. Jika kita memang menganut sistem ekonomi pancasila, sudah seharusnya filosofi dalam sistem tersebut kita terapkan. (Imaroh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar