Translate

Rabu, 23 Maret 2011

MIRIS : Sebuah Pelajaran dari Kalimantan


Borneo, atau lebih populer disebut Kalimantan, dikenal sebagai pulau yang kaya sumber daya alam. Terutama kayu dan hasil tambang seperti minyak dan batu bara. Oleh sebab itu saya berpikir bahwa masyarakat yang berada disana adalah orang-orang yang makmur, meski pembangunannya tidak semewah Surabaya atau Jakarta. Alasan saya mengatakan demikian sederhana, karena orang-orang Kalimantan yang saya kenal dan saya temui adalah orang-orang yang cukup berada.

Namun, miris. Ternyata orang-orang yang saya kenal tersebut tidak dapat merepresentasikan keadaan Borneo yang sesungguhnya. Dalam benak saya saat ini, rakyat Borneo kebanyakan adalah rakyat miskin dengan sarana sanitasi yang kurang memadai. Seribu sungai yang ada disana tercemar oleh limbah dan sampah menggunung. Eksploitasi kekayaan alam dilakukan secara semena-mena dan tidak berpihak pada rakyat sama sekali. Adilkah?

Pilu yang saya rasakan ini mulai muncul saat menginjakkan kaki pertama kali di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Perjalanan dari Bandar Udara Syamsudin Noer hingga Banjarmasin membuka lebar mata saya mengenai gap pembangunan antara Jawa dan non Jawa. Tata kota yang masih amburadul, gedung pencakar langit yang hampir tidak ada, serta sarana-prasarana yang minim membuat sekali lagi saya merasa miris. Inilah hegemoni pembangunan Indonesia yang benar-benar belum atau tidak merata.

Selain itu, miris kembali terulang saat saya berwisata air menyusuri anak sungai Barito. Rumah-rumah panggung khas Kalimantan yang berpegang pada dasar sungai, sebagian masih menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Beberapa ibu-ibu dan anak-anak mandi dengan menimba air dari anak sungai tersebut. Dan kau tahu? Tepat di bawah rumah-rumah panggung tersebut sekian kubik sampah menggenang, menciptakan pulau-pulau kecil baru menjijikkan. Rumah-rumah yang saya dapati pun rata-rata adalah rumah kayu yang nuansanya tak jauh dari kata kumuh. Yang lebih menakjubkan lagi, begitu saya sampai di sungai Barito (ibunya), saya melihat pemandangan luar biasa. Dua kapal pengangkut batu bara tampak dari kejauhan. Luas kapal yang saya perkirakan dapat menampung 40-60 mobil Toyota Alphard itu menampung batubara yang menumpuk menjadi empat buah gunung. Selain itu, beberapa kapal pengangkut minyak berkeliaran di sekitar kami.

Sekali lagi, miris. Begitukah pemerintah membagi pendapatannya? Perumahan kumuh bersanding dengan beribu-ribu gallon minyak dan bergunung-gunung batubara? Akankah daerah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan dikeruk terus menerus tanpa ada timbal balik yang memadai bagi penduduknya? Sekilas terpikir di benak saya mengenai perlunya revolusi kepemilikan sumber daya. Namun akankah itu mungkin? Lha wong, kapal-kapal yang saya lihat tersebut bertuliskan Pertamina yang notabene termasuk dalam kategori BUMN. Selain itu, saya menyadari bahwa revolusi yang sebenarnya tidaklah segampang membalik telapak tangan. Revolusi adalah mengubah tataran sistem secara cepat dan membutuhkan gerakan reflek yang sigap dan tepat untuk menghindari dampak negatifnya. Semisal revolusi itu benar-benar terjadi, masih ada social and cultural lag masyarakat yang harus diatasi.

Oleh karena itu, pertanyaanlah yang kemudian muncul dalam pikiran saya. Pengelolaan kekayaan alam bagaimanakah yang akan berpihak kepada rakyat miskin? Pengelolaan pendapatan yang bagaimanakah yang dapat memperkecil gap Jawa dan non-Jawa? Marilah kita mencari jawabannya bersama untuk kemudian bertindak (karena saya sendiri masih belum tahu jawabannya). Revolusi yang baik adalah revolusi yang berawal dari diri kita sendiri. Jangan biarkan rasa bangga dan cinta kita akan negara ini luntur karena bosan dengan lingkaran hitam yang sudah membudaya. Hidup Indonesia!(Rei)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar