Translate

Sabtu, 11 Juni 2011

About Totalitas

Totalitas. Bagi saya, hal tersebut sungguh merupakan sesuatu yang wah. Sesuatu yang jarang sekali dipikirkan, sekalipun, oleh aktivis kampus, termasuk saya (bergaya sok aktivis). Mindset yang sering ditemui adalah 'ini hanya sekedar hobi' atau 'ini hanya sekedar mengisi waktu luang'.

Namun, hal itu tidak saya dapati di Universitas jember saat studi banding kemarin. Hampir semua pers mahasiswa disana menganut asas totalitas. Dari Tegalboto hingga Prima, tampaknya mereka menganut culture yang sama dengan nafas yang berbeda. Totalitas, ya, totalitas.

Tampaknya disana totalitas adalah hal yang mutlak. Mereka, disana, bicara pada kami bahwa totalitas pasti akan selalu menghasilkan hasil yang bagus dan memuaskan. Dan, perkataan itu semakin terasa menyakitkan saat mereka bisa membuktikan kualitas dari majalah atau produk lain yang mereka buat.Mereka rela ber-ipk jelek, mengorbankan kuliah dan urusan tetek bengek yang lain demi hal lain yang bagi mereka jauh lebih menyenangkan. Hal itulah, yang menurut saya, membuat suasana disana terasa hidup.

Membandingkan dengan kami, eh, saya, hal yang pertama kali terlintas saat memilih Sektor adalah 'ini hobiku'. Sampai sekarang pun kalimat 'ini hobiku' masih mendominasi, meski ada ambisi memperbaiki kualitas produk.

Berkaca pada persma Jember, saya merasa minder. Pikiran 'kami tak akan bisa seperti mereka, karena culture totalitas itu tak ada disini' mulai sering muncul. Namun, semakin sering dipikir, semakin sering bertanya 'benarkah?'

Benarkah yang namanya totalitas harus mengorbankan banyak hal lain? Benarkah untuk total pada dunia jurnalistik harus ber-ipk jelek, mengorbankan kuliah dan urusan tetek bengek yang lain?

Saya kira totalitas tidaklah harus seperti itu. Totalitas adalah menjadikan hal tersebut pada prioritas tingkat atas. Tetapi prioritas tersebut tidaklah harus selalu menghilangkan prioritas yang lain. Bener ya?

Karena manusia itu tidaklah hanya punya satu atau dua peran dan status saja, tapi bisa jadi banyak kan? Baru, jika prioritas prioritas itu bergesekan, kita harus memilih yang paling penting bagi kita.

Begitupun dengan ide memperbaiki kualitas produk kami. Kami bisa kok menyamai mereka, melebihi bahkan. Tapi ya itu, harus ada keseriusan dan komitmen menaruh hal tersebut pada skala prioritas tingkat atas (that's what i called totality). Dengan tanpa mengorbankan status kita sebagai mahasiswa yang masuk strata atas akademisi maupun tanggung jawab kita kepada orang tua.

Begitulah isi pikiran saya. Hahaha. *bad ending

Tidak ada komentar:

Posting Komentar