Translate

Minggu, 09 Oktober 2011

Konsumerisme, Kebutuhan dan Media

Konsumerisme dan Kenikmatan Semu

Dalam hidup, dalam tata cara ilmu ekonomi manusia pasti melakukan apa yang disebut dengan konsumsi. Yaitu menghabiskan utilitas suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan. Kebutuhan pun bermacam-macam, dari kebutuhan fisik (dasar) hingga kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai tingkat tertinggi (hierarki kebutuhan Maslow). Hierarki kebutuhan Maslow mengelompokkan dan mengklasifikan lima kebutuhan manusia dari tingkat terpenting hingga yang paling tidak penting, dari tingkat yang paling mudah dicapai hingga tingkat paling sulit.

Konsumerisme, sebagai salah satu paham yang berkembang di era ‘modern’ ini menurut saya merupakan salah satu akibat dari kebutuhan manusia akan aktualisasi diri. Istilah konsumerisme menekankan pada gaya hidup yang menganggap barang (materi) sebagai ukuran kebahagiaan, prestise, dan sebagainya. Konsumsi dalam bingkai konsumerisme, terutama di kota-kota metropolis, lebih sering dilakukan manusia sebagai salah satu cara memenuhi standar hidup. Nah, disinilah kemudian standar hidup itu menjadi ambigu. Standar hidupnya siapa? Siapa yang membuat?

Batasan konsumerisme dengan konsumsi berdasarkan kebutuhan, sering terlihat semu mengingat konsumsi bersifat relatif. Namun batasan semu konsumerisme dapat dipertegas dari latar belakang melakukan konsumsi. Pemenuhan yang terkadang menjadi tumpang tindih karena sang pembeli tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan menunjukkan nalar sudah jarang dipakai disini. Tindakan konsumsi yang tidak proporsional atau berlebihan pun juga termasuk dari penerapan paham kenikmatan semu tersebut. Begitu pun dengan konsumsi yang berlatar belakang hanya sekadar ingin mengganti barang lama dengan baru serta keinginan menunjukkan jati diri melalui barang yang dikonsumsi tersebut.

Diakui atau tidak, saat ini standar hidup yang digunakan masyarakat Indonesia adalah standar hidup yang lebih cenderung pada kehidupan barat. Posmodernisme sebagai sebuah bentuk baru dari modernitas atau modernisme, mutlak menjadikan dunia barat (Amerika dan Eropa) sebagai kiblat dari segala aspek kehidupan. Konsumsi pun menjadi tidak dapat dinalar karena kuatnya keinginan untuk menjadi ‘barat’. Konsumsi dilakukan tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan saja melainkan mengonsumsi brand yang dicitrakan dari materi tersebut. Dan ujung-ujungnya pun brand yang bersangkutan berunsur ‘barat’.

Konsumerisme di Indonesia tampaknya sudah merujuk pada taraf parah. Apalagi dalam masyarakat kota metropolis yang terjangkau oleh fasilitas berbelanja (baca : konsumsi – red) seperti mall, supermarket, hypermarket dan market-market yang lain (pasar modern). Bagi masyarakat menengah ke bawah, memiliki kendaraan pribadi, televisi serta kulkas tampak sebagai sebuah kewajiban. Bagi remaja, memiliki Blackberry, I-Pad, dan gadget lain menjadi sebuah trend. Standar dari mana itu?

Idiom konsumerisme, jika dibiarkan, lama-kelamaan akan menginternalisasi dalam diri masyarakat, membentuk self conciusness dan kemudian berkembang menjadi budaya. Akhirnya, bangsa Indonesia akan terpacu untuk selalu mengejar materi. Dan lebih parahnya lagi, materi yang dicari tidak membantu memperbaiki taraf hidup masyarakat, karena barang yang dicari merupakan barang asing.

Konsumerisme dan Media

Media, baik cetak mapun online, keduanya sama-sama memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap suatu hal. Persepsi yang dimaksud disini adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar yang berarti mengenai dunia. Pembentukan persepsi ini jika dilakukan terus-menerus dan mendapat respon bagus dari masyarakat akan menginternalisasi dalam diri masyarakat itu sendiri dan kemudian membentuk budaya baru. Termasuk konsumerisme yang kita bahas disini.

Demi mendukung aktivitasnya hampir semua media menggunakan iklan sebagai sumber dana. Banyaknya iklan yang ada mendorong orang untuk hidup konsumtif. Selain itu, ulasan mengenai gaya hidup, film, sinetron pun mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk persepsi mengenai standar hidup yang seharusnya. Perkembangan fashion yang ditampilkan pada majalah remaja juga menyebabkan tingginya budaya konsumsi. Remaja berusaha untuk tampil up to date. Tak jarang mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli baju dan make up, hanya karena ingin berusaha tampil cantik dan tampan seperti model-model yang ada di majalah.

Iklan yang ada ada di sekitar kita membuat produk-produk yang ditawarkan serasa menjadi kebutuhan (strategi marketing). Orang yang tidak memiliki kepribadian akan sangat mudah terpengaruh dan cenderung menjadi orang yang konsumtif. Mereka akan mencoba segala macam produk yang terbaru, karena tidak ingin ketinggalan jaman. HP model terbaru, pakaian modis, sikap yang sok keartisan, menunjukkan betapa majalah mampu berpengaruh pada pola konsumerisme dalam mengubah seseorang.

Hal ini awalnya hanya melanda kalangan atas karena secara ekonomi hanya mereka yang mampu mengikuti pola hidup konsumtif itu. Akan tetapi, kemudian keadaan berubah. Inovasi besar-besaran dalam bidang perkreditan membuat masyarakat menengah ke bawah mulai melirik gaya hidup tersebut. Dan dengan daya beli yang pas-pasan mulai membeli barang-barang dengan kepuasan semu tersebut. Membeli barang-barang atas dasar keinginan ‘diakui’ atau bahkan sekedar memenuhi standar hidup.

Media mampu membentuk persepsi dalam benak masyarakat melalui peciptaan realitas virtual dalam media seolah-olah hal tersebut menjadi patokan standar dalam masyarakat. Adanya patokan standar ini lah yang mendorong konsumen untuk mengonsumsi produk yang ditawarkan. Dengan mengonsumsi produk tersebut, maka konsumen akan merasa telah memenuhi standar yang telah diciptakan. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, media, baik cetak maupun elektronik, tidak hanya menjadi media promosi paling efektif tapi juga pembentuk image gaya hidup glamor dan hedonistik.

Penutup

Konsumerisme yang berkembang di Indonesia membentuk dunia usaha baru demi mengakomodir kebutuhan akan sarana dan prasarananya. Usaha tersebut adalah Mall, Hypermarket, Supermarket dan segala macam pasar modern yang lain. Jika melihat penghitungan pendapatan nasional yang memasukkan aspek konsumsi di dalamnya, tampak bahwa konsumerisme mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika kita melihat kembali konsumerisme masyarakat Indonesia yang cenderung mengarah kepada produk asing, apakah pandangan itu benar? Selain itu, Mall dan segala pasar modern lainnya saat ini mulai terasa menggusur keberadaan pasar tradisional dan para pedagang kecil. Padahal jika dilihat lebih dalam, para pedagang yang dapat masuk dalam pasar modern merupakan pedagang dengan modal yang cukup besar. Lalu mau dikemanakan para pedagang kecil tersebut?

Pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia saat ini masih belum dibarengi dengan pertumbuhan tingkat investasi. Oleh karena itu, kita patut mengadakan perubahan paradigma. Dari sisi konsumen, mari kita turut mencintai produk dalam negeri dan menggunakan cara berpikir yang benar ketika membeli sesuatu. Selain itu, mari kita membiasakan diri untuk berpikir mengenai ‘investasi’ atau paling tidak berpikir untuk mendayagunakan daya, cipta dan karsa kita untuk melakukan sesuatu yang produktif. (Imaroh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar