Translate

Sabtu, 09 November 2013

Solution for The Poor

Berdasarkan data statistik, tren kemiskinan Indonesia secara rata-rata mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tapi entah mengapa, saya merasa tren kemajuan tersebut masih perlu dimasalahkan. Pasalnya, selama empat tahun saya berkelana Surabaya, Jombang, Malang, Tulungagung dan kota kota di Jawa Timur lain, wajah wajah pengamen dan pengemis yang saya temui masih eksis dan bahkan bertambah. How come?

Pada awalnya, saya melirik pokok kesalahan pada pemerintah. Bagaimana bisa program pemberdayaan pemerintah tidak menyentuh sektor ini? Setelah dipikir pikir lagi, masalah si miskin ini juga melibatkan masalah mental. Banyak pengemis dan pengamen yang saya temui tampaknya memang tidak memiliki hasrat untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik. Entah memang karena putus asa atau memang karena telah merasa nyaman dengan penghasilannya saat ini. Sekilas saya pernah mendengar seorang pengemis berkata bahwa saat sepi dia masih mendapat setidaknya enam puluh ribu rupiah sehari. Jumlah yang terlihat 'wow' bagi saya, mengingat ibu dan ayah saya yang seorang pedagang pernah tidak mendapat uang sama sekali saat berjualan. Dengan skill seadanya, pendidikan seadanya, modal seadanya, tampaknya menjadi pengemis dan pengamen dapat menjadi pekerjaan yang menjanjikan. Dan sayangnya, tak peduli berapa pun yang mereka punya, mereka tidak memiliki keinginan kuat untuk menyekolahkan anaknya. Anak pengemis dan pengamen tidak punya pilihan lain selain menjadi pengemis dan pengamen.

Selain pengemis dan pengamen, ada satu pekerjaan lagi yang menurut saya menjanjikan tanpa perlu kerja keras banyak. Tukang parkir. Pekerjaan satu ini tampaknya sedang tren akhir akhir ini. Hanya perlu duduk, ngopi, merokok, uang akan datang dengan sendirinya. Memang, tidak semua tukang parkir mendapatkan uangnya secara 'magabut', ada banyak tukang parkir yang benar benar bekerja menata kendaraan sedemikian rupa sehingga terlihat rapi. Yang perlu mendapat sorotan adalah tukang parkir yang sebaliknya. Saya sering menemui tukang parkir macam ini terutama di depan Alfamart Indomaret. Datang hanya saat kendaraan akan keluar. Sebal sekali rasanya. Sering saya merutuk, 'dasar kerjaan gak faedah'. Tidak hanya saya, ternyata teman-teman saya juga merasakan hal sama. Saya rasa tukang parkir jenis ini memang perlu ditertibkan. Pemerintah kota atau kabupaten memiliki andil besar dalam hal ini. Mereka dapat merancang bagaimana menyentralisasi tempat parkir, menertibkan para tukang parkir nakal dan membuat warga kota atau kabupaten tidak merasa terzalimi.

Satu hal yang sama dari dua pekerjaan (atau tiga, karena saya cenderung menganggap pengamen dan pengemis adalah satu pekerjaan yang sama) yang saya sebutkan diatas. Yaitu mereka semua bergantung pada pemberian banyak orang. Dari cerita 'enam puluh ribu rupiah kalau sepi' saya menangkap kalau jiwa sosial masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Memberi tidaklah salah. Ada hadist yang menyatakan bahwa tangan diatas lebih utama daripada tangan di bawah. Zakat, infaq dan shadaqah merupakan amal sarana membersihkan harta kita. Hanya saja, perlu kita sadari bahwa kita perlu memberi dengan kualitas (mengutip kosakata dalam novel Episentrum karangan Adenita), bukan hanya sekedar memberi. Mengapa? karena jika melihat realita, bisa jadi kita salah memberi. Tidak membantu orang lain, tetapi malah membiarkan dia masuk dalam lingkaran ketergantungan dan kemalasan. Selain itu, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, jarang sekali pengemis dan pengamen yang melek pendidikan, sehingga jika 'memelihara' mereka, kita hanya akan menambah jumlah pengemis dan pengamen baru. Ditambah lagi, pendapatan mereka most likely lebih tinggi daripada orang-orang yang mengusahakan pekerjaan yang lebih baik, semisal pedagang kecil. Menurut saya, it is a lil bit unfair for them. Bisa jadi saat bangkrut mereka lebih memilih menjadi pengemis, pengamen dan yang lain daripada menghidupkan usahanya kembali.

Kembali ke konsep 'memberi dengan kualitas', bagaimanakah caranya? Jika kita sadar, sebenarnya ada banyak cara menebar sedekah. Yang pertama adalah dengan bersikap 'aware' atau peka dengan lingkungan sekitar. Adakah saudara kita yang kesulitan? Adakah teman kita yang sedang susah? Adakah kolega kita yang sedang butuh bantuan? Jika kita sanggup membantu dengan dana kita, bantulah. Jika tidak bisa, mungkin kita bisa mengusahakan dengan membantu berusaha. Kedua, ikutlah atau bentuklah kegiatan kegiatan sosial, seperti abdi desa, guru sukarelawan, donatur dan lain lain. Jika tidak punya waktu, anda bisa menyalurkan dana anda ke dalam lembaga lembaga amil zakat, infaq dan shadaqah. Menurut saya, cara terakhir adalah yang paling mudah, karena rata-rata lembaga amil tidak menentukan batas minimal untuk sedekah. Melalui ketiga cara diatas, uang kita akan tersalurkan secara efektif, membantu mengurangi kemiskinan dan peminta minta, dan membantu negara menyejahterakan rakyatnya. Untuk tukang parkir nakal, saya rasa, cara paling efektif adalah melalui campur tangan pemerintah. Menjadikan tukang parkir pegawai pemerintah dan memungut retribusi parkir secara terpusat. 

Karena hidup akan lebih indah jika berbagi.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar