Translate

Selasa, 06 Desember 2011

Ruwetnya Permasalahan Transportasi Indonesia

Ruwet. Itu yang saya rasakan begitu dihadapkan dengan wacana transportasi Indonesia. Indonesia, sebagaimana layaknya negara dengan kepadatan penduduk tinggi, memiliki masalah transportasi yang cukup pelik. Sejauh saya mengamati, permasalahan transportasi Indonesia setiap tahun selalu dipusingkan dengan angka kecelakaan yang tinggi, sarana yang kurang berkualitas, kemacetan, hingga masalah klasik, pengaturan sarana dan lalu lintas lebaran. Karena memang jika meneropong permasalahan transportasi secara keseluruhan akan membutuhkan berlembar lembar halaman dan memunculkan banyak variabel. Maka untuk edisi kali ini mari kita hanya melihat satu variabel saja, yaitu transportasi umum.

Salah satu faktor penyebab peningkatan jumlah kendaraan yang sangat pesat di Indonesia adalah kurang layaknya sarana transportasi umum yang ada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa transportasi umum Indonesia terutama bis dan angkutan kota sering terlihat melanggar tata tertib lalu lintas. Melanggar marka jalan, menurunkan penumpang seenaknya, ngebut, hingga berkendara ala kura-kura karena mencari penumpang. Selain faktor pelanggaran tata tertib lalu lintas, hampir semua transportasi umum Indonesia berada dalam kondisi tidak layak secara fisik. Kecelakaan yang melibatkan transportasi umum hampir semuanya berujung pada ketidaklayakan fisik angkutan umum, baik karena tua, rem blong, ataupun kurang terawat.

Ketidaklayakan ini lah yang kemudian menjadi salah satu penyebab, tingginya permintaan terhadap kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Kemudian jumlah kendaraan menjadi tidak terkendali dan kemacetan menyebar kemana-mana. Salah satu solusi adalah memperbaiki sarana transportasi umum. Namun, sekali lagi hal tersebut bukanlah hal yang mudah, dilihat dari kompleksnya problem transportasi di Indonesia. Karena permasalahannya sebenarnya tidak hanya berada pada sarananya saja tetapi juga sumber daya manusianya sendiri.




Salah satu perubahan yang patut kita apresiasi dalam bidang transportasi umum adalah PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Di tahun 2011 ini PT. KAI memperketat regulasi berupa pembatasan penumpang pada kereta api kelas ekonomi, sehingga tidak ada lagi penumpang yang berdiri di semua kelas kereta api. Meskipun untuk kereta api ekonomi jarak dekat ada toleransi penumpang berdiri sebanyak 25 %.

Kebijakan ini dibuat untuk memperbaiki tingkat kenyamanan, keamanan dan keselamatan penumpang kereta api. Kereta api kelas ekonomi sebelum revitalisasi kebijakan ini tidak mengenal pembatasan jumlah penumpang, sehingga pada hari hari tertentu sering ditemukan overload penumpang kereta api. Banyak penumpang rela berdesak-desakan demi terangkut transportasi umum paling murah ini. Di daerah Jawa Timur sendiri berdasarkan pengamatan saya, pada beberapa hari-hari tertentu, semisal weekend, beberapa penumpang bahkan rela duduk diatas kereta. Padahal hal tersebut jelas-jelas berbahaya bagi keselamatan penumpang itu sendiri. Selain itu, sistem pendistribusian tempat duduk di kereta api kelas ekonomi lebih cenderung ke arah hukum rimba, yang kuatlah yang mendapat tempat duduk, meskipun sering ditemukan segelintir orang yang peduli dengan orang lain.

Jika ditelusuri dari tujuan awal ditetapkan kebijakan tersebut, kebijakan tersebut sangat baik dan patut diterapkan mengingat pentingnya keselamatan dan kenyamanan penumpang. Tapi apakah kebijakan tersebut bisa diterima masyarakat? Sepengetahuan saya penerapan kebijakan tersebut masih kurang mendapat apresiasi, dari pengguna jasa kereta api terutama.

Semisal penempatan tempat duduk, pada tiket kereta saat ini telah tertera nomor tempat duduk penumpang. Tapi pada kenyataannya, nomor tempat duduk tersebut tidak mendapat respon yang baik. Banyak penumpang masih duduk amburadul dan tidak sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket. Beberapa penumpang yang taat pada aturan dalam artian mencoba mengingatkan penumpang tersebut justru disuruh mencari tempat duduk lain. Usut punya usut, ternyata di beberapa stasiun kecil sistem ticketing masih menggunakan sistem lama, tanpa nomor tempat duduk.

Tingginya peminat kereta api juga membuat banyaknya penumpang gelap dalam kereta karena tidak memiliki tiket. Kadangkala juga penumpang yang telah membeli tiket ternyata tidak sesuai dengan yang seharusnya. Tulisan tiket habis, padahal beberapa gerbong masih belum penuh. Beberapa penumpang mengeluhkan bahwa sistem yang berjalan saat ini ribet, harus inilah, harus itulah padahal tiket yang ada terbatas. Jadi bagaimana ini pak?

Kita bisa mengambil kesimpulan dari permasalahan ini. Kesimpulan tersebut adalah kebijakan yang baik pun belum tentu baik jika tidak didukung oleh publik. Seperti contoh penerapan kebijakan baru pada transportasi perkeretaapian Indonesia. Kebijakan yang tampak bagus, peningkatan pelayanan dan keselamatan penumpang, tapi penerapannya tersendat-sendat dan malah kelihatan tidak efektif karena tidak didukung publik.

Di luar semua kekurangan yang telah disebutkan, PT Kereta Api Indonesia telah melakukan perubahan kebijakan di bidang transportasi kearah yang lebih baik. Sudah seharusnya mutu sarana transportasi Indonesia diperbaiki. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mengapresiasi kebijakan tersebut dan membantu menerapkan demi terwujud kondisi yang ideal. Bukankah keidealan tersebut yang kita inginkan bersama?

1 komentar: